11 Februari 2008

Bapak Mawar Putih

Bunga Mawar di tepi karang,
Mengayun lembut ikuti angin
Meyakini diri, di bagian karang yang lain pasti ada keluargaku disana


Sedari pagi hujan gerimis turun di kota ini, setiap butiran bening itu lembut menyapa bumi. Siang jadi tidak terlalu garang oleh karenanya, dan fenomena matahari di belakang hujan memantulkan spektrum warna, Pelangi.

Aku menatap gadis kecil berkepang dua itu. Tanpa perlu melihat penanggalan kalender manusia, aku tahu ini pasti hari yang ke-5 dalam hitungan bulan yang berjalan. Selalu saja Sara duduk di kursi kayu panjang , dibawah pohon cemara dan memandang pelangi yang ujungnya sembunyi malu-malu, seolah-olah menghilang dibawah tebing. Sepanjang sore, dalam diam Sara berbicara banyak dalam goresan pensil pada kertas putihnya.
“Hari makin gelap, ayo masuk ke dalam Sara”
Gadis kecil itu tersenyum lalu berjalan kearahku.
“Oma…”
“Ya sayang ?”
“Oma, Kapan Bapak Mawar Putih menjemputku ?”
“Sara,anakku…Oma sudah bilang, jika ada keluarga baik-baik yang ingin mengangkatmu menjadi anak mereka, kau bisa pergi kapanpun kau mau.”
Aku mengusap kepalanya dengan lembut sambil mencoba mengingat Bapak Mawar Putih yang selalu diceritakan Sara.

Sampai usianya 5 tahun, Sara kecil begitu pendiam dan pasif akan apa saja. Sekalipun ia ketakutan oleh lampu yang padam atau bunyi gemuruh guntur tengah malam, ia hanya akan mengetuk pintu kamarku, menungguku keluar untuk melihat wajahku, lalu kembali ke kamarnya dalam diam.

Sore itu, ada rombongan pemuda datang membagikan hadiah akhir tahun untuk anak-anak panti. Sara seperti biasa, bergeming dan duduk sendirian di kursi kayu dekat tebing curam. Seorang pemuda menghampirinya, aku tak tahu apa yang mereka bicarakan karena dari bingkai jendela aku hanya bisa menangkap senyum lepas Sara dan usapan lembut pemuda itu di kepala Sara. Semalaman mereka bicara di kursi itu, hingga saatnya rombongan pemuda itu pulang.
Hari-hari berikutnya Sara menjadi anak yang ceria dan aktif. Dialah yang menanam setangkai mawar putih di tepi tebing. Semak mawar itu bertumbuh di satu tempat saja dan selalu mekar sepanjang tahun. Ketika kuntum nawar putih yang lama mulai layu, pasti mekar satu kuntum baru. Aku hanyalah Ibu kepala panti, aku tak bisa menerka apa yang membuat, bunga mawar di tepi tebing itu mempertahankan ritual yang sama dan mengapa setiap tgl 5, pelangi muncul di tebing itu.

Pemuda itu tak pernah berkunjung ke panti. Sebagai gantinya, sebuket mawar putih yang indah selalu terkirim untuk Sara. Bapak Mawar putih, begitu Sara menyebutnya, seakan tahu apa saja yang terjadi pada anak itu.

Ketika Sara dan ke-4 teman sebayanya kuhukum berdiri di lapangan panti karena tanpa sengaja memecahkan kaca jendela dengan bola sepak.
Besoknya seorang tukang memperbaiki kaca jendela yang rusak dan membawa buket mawar putih untuk Sara dengan pesan singkat
Nona manisku hati-hati donk kalau bermain. Kalau pecahan kaca itu kena kepala Sara, nanti jadi tambah merah-merah dong ? belum cukup apa jerawatnya merah-merah ? =) Salam sayang, ‘Aku’

Ketika Sara memandu beberapa turis untuk mengambil potret pemandangan di pantai dan gunung di kota ini hingga membuat kakinya mati rasa. Besoknya petugas dari Fuji Film mengantarkan foto cetak dan buket mawar putih untuk Sara dengan pesan singkat
Nona Pujaanku, kalo difoto belajar senyum yang tulus donk, koq seperti terpaksa ? Aha, cincin siapakah yg ada di jarimu itu?=) Salam sayang, ‘Aku’

Ketika Sara hendak pentas dalam fragmen kerajaan, pagi benar buket mawar putih tiba dipanti
Sara, kau pasti bisa menjadi dia seutuhnya. Aku sudah berpesan ke pengawal agar tidak terlalu kejam menyeret nonaku di panggung ! Oke ? =) Salam sayang, ‘Aku’

Ketika Sara menyanyi dalam paduan suara di suatu kebaktian, kali ini mawar putih datang lagi dengan pesan amat singkat
Jika Tuhan berkenan kita akan segera bertemu. Sara, maukah kau ? Aku-mu

Sara tercengang dan berlarian memberitahuku. Bapak Mawar Putih, akan datang menemuinya. Apakah dia adalah Bapak sungguh Sara ? Siapa? Dimana saja ia selama 15 tahun ini, mengawasi Sara tanpa ketahuan ?

Sara juga tak ingat lagi wajah pemuda yang menjadi Bapak Mawar Putih yang begitu menyayanginya. Sara seperti tak butuh penjelasan panjang. Sara hanya meyakinkanku untuk turut yakin, Ah, binar mata anak itu seakan meyedot semua keraguanku.

“Oma..aku yakin Bapak Mawar Putih akan menemuiku hari ini”
“kau yakin ia datang hari ini, Sara?”
“Makanya Oma juga harus siap-siap ya?”
Sara berlalu dengan senyum manisnya. Hari makin sore, mendung memayungi bumi. Bapak Mawar Putih belum kunjung juga.

Ting Tong.. Ting Tong…
Seorang bocah membawakan sebuket Mawar Putih untuk Sara.
“Dik, dimana Bapak Mawar Putih ?”
“Hhmm..kakak..merunduk dong..”
“Apa dia datang menyusulmu sebentar lagi?”,
Tanya Sara sambil menundukkan kepalanya.
Bocah itu mencium kedua pipi Sara dan merangkulnya.
Kakak Sara terlalu Perfect untuk menjadi kakakku..”
Kemudian bocah itu lari meninggalkan panti, menembus guyuran hujan.

Sara bergeming membaca pesan dari Bapak Mawar Putih
Sara, kau terlalu perfect untuk menjadi anakku. Maafkan keegoisan dan kepengecutanku. Andai saja aku bisa, Ahh…tapi aku kehabisan kata
Bumi,
Bulan,
Matahari,
Pelangi,
Maafkan aku. Sungguh maaf. Mungkin ini terakhir kalinya aku menyapamu lewat rangkaian indah Mawar Putih, karena itu lebih baik untuk semuanya .Lupakanlah aku.
Yakinlah, kau selalu dihatiku
Dengan segala ketulusan. ‘Aku’.

Dalam diam tubuh Sara bergetar.
Lirih ia menatap mataku dan berkata,
“Oma..oma.. ada apa dengan Bapak Mawar Putih?”
“Oma..kau tahu nama lengkap Bapak? ”
“Oma..aku bahkan tak tahu cara menghubunginya !”
“Oma..apakah ia sakit? Apakah Sara mengecewakannya?”
“Oma... Sara disuruh melupakannya?”
“Oma..Oma…?”
“Sara anakku, Bapakmu pasti punya penjelasannya sendiri. Iya kan ?”
ada Jeda.
Sara mengangguk, memeluk buket mawar putihnya, dalam diam ia duduk di kursi kayu panjang di bawah pohon cemara. Sore itu hujan rintik begitu puas menyapa bumi.

Dari bingkai jendela panti…
Aku seperti melihat kombinasi satu lukisan,
Ada gadis berbaju putih..
Ada sekuntum mawar putih yang mekar dengan anggunnya di tepi tebing.
Ada Pelangi yang ujungnya seolah tertelan kabut tebing.
Perlahan,.
Ada rembulan sabit memayungi putri sulung si Bapak Mawar Putih.


30 Maret 2005,

ketika jemari fajar menyentuh kisi bumi

Tidak ada komentar: