07 Oktober 2008

Lingkan pe Rumah

Aku adalah sebatang padi.
Padi yang hijau kekuningan saat terpuaskan oleh sinar Matahari. Di usia produktif, aku tidak mau menjadi padi biasa yang makin berisi makin menunduk. Bukan berarti aku tidak setuju dengan filosofi hendaknya manusia semakin sukses semakin rendah hati. Menurutku pepatah itu sah-sah saja dan mengandung pesan moral yang baik. Hanya saja aku memahami dan memaknai pepatah itu dengan cara lain, semakin merunduk, tunduk, menyembah, nah menyembah atau tunduk pada apa??

Aku adalah sebatang padi yang memiliki hak penuh atas pilihanku.
Padi yang lebih memilih menjadi padi yang ketika makin berisi makin cepat jatuh ke tanah tanpa perlu merunduk lama entah pada apa. Padi yang jatuh langsung bisa disebarkan angin, tikus sawah, ular ataupun melekat terinjak sepatu petani dan bertumbuh lagi menjadi padi-padi yang lain. Singkat kata berbuah. Yach…cara berpikir ku memang aneh kata Mama. Tapi itulah aku, anak semata wayangnya.

Aku adalah sebatang padi tapi bukanlah padi biasa.
Karena aku seorang Lingkan Pang. Namaku juga bukan seperti nama biasa kan? Percampuran nama minahasa dengan marga Tionghoa yang cukup menjelaskan percampuran budaya dan kata orang merepotkan menjadi aku. Ah.. coba mereka menjadi Aku Si Lingkan Pang, pasti akan menyenangkan karena aku menyayangi Mama dan Papa ku jauh sebelum aku bisa bertanya terhormatkah garis keturunanku atau siapa nenek moyangku. Kasih sayang tanpa syarat, selalu indah.

Aku adalah Lingkan adalah padi.
Tidak seperti padi yang biasanya mudah tumbuh di petak-petak sawah di negara agraris seperti Indonesia. Aku justru tidak mudah beradaptasi dan menetap lama di tempat yang bukan Rumah-Ku. Seakan telah berakar bahwa tempat aku dibesarkan sedari kecil itulah rumahku, kawasan strategis di Kampung Cina-nya kota Manado. Rumah itu peninggalan Opa yang meninggal sewaktu aku masih SD. Opa yang gendut, bermata sipit dan sangat gemar tidur di lantai, Lebih dingin lebih cepat tidur katanya..dan Opa ku memang tertidur pulas. Aku memang menyayangi Rumah itu dan sangat nyaman di dalamnya sehingga Aku yang di dalam rumah itu tidak pernah mencoba keluar kotak. Karena aku yakin disitulah Rumah ku, selalu.

Oh ya, sebagai mahasiswa semester akhir aku juga punya cita-cita. Lingkan Pang segera menjadi pengacara wanita di kota ini yang khusus melayani rakyat biasa !
“Kenapa bukan jadi Notaris?”
“Malas aja..”
“Lho, notaris katanya lebih mudah dan banyak dapat bayaran”
“Hhm..mm..”
“Kalau pun jadi pengacara, tangani kasus konglomerat kek pejabat kek..”
“Hm..ngak suka”
“ Kenapa Lingkan hanya mau menangani kasus rakya biasa?”
“Karena..aku adalah Lingkan.”
Mama paling kesal jika membahas cita-citaku. Mudah-mudahan jika aku juga jadi seorang Ibu aku tidak tertular penyakit khawatir akan kemapanan anakku kelak. Yach..lagi-lagi Mama mengatakan pikiranku aneh. Tapi itulah aku, anak semata wayangnya. Aku adalah Lingkan adalah padi. Padi hanya bisa dinikmati orang-orang besar itu jika ada orang-orang biasa, para petani yang sabar dan telaten merawatku dalam panas-hujan. Dalam batasan petak sawah para petani- para rakyat biasa adalah Indonesian Idol ku. Haha..kalau mama tahu betapa aku menghayati arti nama pemberiannya mungkin aku akan diberi nama salah satu tokoh dalam kitab suci supaya aku jadi anak gadis yang taat dan menjalani hidup lurus-lurus saja.

Sebagai mahasiswi tingkat akhir, aku harus menjalani magang 2 bulan di kantor Pengacara atau pengadilan. Sejak bulan Juli aku magang di kantor pengacara di kawasan Jakarta Selatan. Aku kan sudah bilang sebelumnya, di rumah Manado aku sangat nyaman dan kata nyaman berarti banyak hal termasuk dimanjakan. Atas dorongan Waranei tunanganku, aku mencoba keluar kotak, pergi ke ranah yang baru. Caiyooo!!! (Semangat!!) Haha… dan disinilah aku. Lima hari seminggu dan sembilan jam sehari aku ada di kantor, bekerja dan bekerja. Aku tidak suka pulang ke tempat kost, bagiku itu bukan rumah. Hanya sebuah kamar dengan benda-benda asing. Setiap hari aku pasti tiba-tiba terbangun. Entah kenapa seminggu pertama di Jakarta setiap pukul 2 subuh mataku pasti terbuka. Bukan ketakutan tetapi keterasingan. Setiap hari Ranei menerima sms ku :
Sayang, aku ingin pulang. Pulang ke Rumah-ku.
Ah..aku bahkan sudah menghafal sms balasan Ranei :
Sayang, dimanakah ‘Rumah’ itu ?
Kalau sudah begitu aku akan mengirimi mama sms yang sama :
Mama, Dimakah Rumah- Ku?
Dan Mama akan menjawab sms ku :
Lingkan, berdoa saja dan tidur lagi
Triangle sms yang aneh, Waranei di Bogor, Lingkan di Jakarta dan Mama di Manado. Itulah aktivitas kami bertiga selama seminggu setiap pukul 2 subuh.

Aku adalah Lingkan adalah Padi.
Menurut pemandanganku padi-padi di sawah bersahabat erat dengan angin semilir. Mereka saling bergesakan dan menghadiahkan gerakan alami yang dinikmati manusia. Aku memutuskan untuk mencari Rumah ku di Jakarta. Aku tidak tahu caranya, tapi aku ingin mengikuti angin.

Minggu kedua dan ketiga di Jakarta. Aku mengunjungi pusat keramaian alias mall di kawasan Jakarta Selatan. Aku ke PP Indo Mart yang rawan macet hari senin, ke Mall Graha Cijantung hari Selasa, ke Cilandak Town Square yang harga makanannya kemahalan oleh pajak- hari Rabu dan Aku nekat ke Blok M Plaza hari kamis. Pusat keramaian itu kudatangi sendirian, naik angkutan umum berbekal penjelasan satpam Pak Bambang di kantor aku magang. Pikiranku memang bisa santai memandangi barang-barang wah di mall tapi tetap saja aku sadar benar. Disini bukan rumahku.

Sebulan di Jakarta. Aku mencoba kerja lembur di kantor. Tujuannya jelas, agar aku kelelahan sehingga sampai di tempat kost aku akan tertidur lelap. Tak lupa sebelum tidur aku membaca buku-buku ringan seperti TeenLit dan Chicklit sebagai pengantar tidur. Tapi kamar itu tetap bukan rumah.

Aku adalah padi yang kelak adalah nasi.
Padi yang juga beras yang akan menjadi nasi. Nasi yang putih, gurih dan dimakan dengan lahap oleh seluruh anggota keluarga. Empat minggu di Jakarta telah mengakrabkan aku dengan keluarga Ranei. Aku paling suka dengan weekend hari Jumat-Minggu karena saat itu aku merasa pulang ke Rumah, ke Indraprasta Bogor. Momen yang paling aku suka adalah makan malam di rumah Bogor. (Tuh kan aku mulai menyebut Rumah Bogor dan bukan melulu Rumah Manado.) Di meja makan ada Kak Pingkan, Kak Carry, Ranei dan Aku. Mereka bercanda dan bercakap dengan aliran kehangatan. Aku merasa tidak berada di tempat asing, walaupun aku tahu Mama ku khawatir bukan kepalang mengetahui hobi baruku menginap di rumah keluarga Ranei. Aku rasa-rasanya mulai menemukan rumahku yang lain..

Aku adalah Lingkan yang sama dengan dua bulan lalu. Waktuku di Jakarta sudah selesai. Aku harus pulang.
“Bagi penumpang Batavia Air dengan tujuan Jakarta-Manado silahkan menuju…”
aku mengirim 2 sms singkat:
Ranei sayang, pesawat ‘L’ sdh mau berangkat. Pulang ke rumah
Makaseh 4 memberiku byk rmh baru yg nyaman.
nb. Polo n sun pa Lingkan dang?!
--report: delivered

Mama sayang, pesawat ‘L’ sdh mau berangkat. Pulang ke rumah
C u soon, 4 jam ke depan
nb. Masak enak2 neh…
--report: delivered



Akhirnya, lampu di kabin pesawat diredupkan, siap-siap mendarat di Bandara Sam Ratulangi. Malam ini lampu-lampu di kota Manado tampak tersenyum ramah. Ahh..betapa khayalan Lingkan begitu tinggi malam ini.

“Creshhh” ada bunyi aneh di baling-baling pesawat.
“Maaf akan ada sedikit goncangan” ada suara pramugari menenangkan penumpang
“aahhh..Mama..Ma..” ada anak kecil berteriak ketakutan
“Oh Tuhan !” ada beberapa pekik penumpang
Aku melihatnya dengan jelas. Ada api kecil di baling-baling kanan pesawat.
Duarghh…!! Ledakan. Pesawat ini berguncang dan mulai hilang kendali.
Ada kekacauan di pesawat ini.
.
Mataku terhenti pada buku di pangkuanku, Jangan Main-Main (dengan kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu yang dibelikan Ranei di QB kemarin. Dalam buku itu terselip foto Mama, Ranei dan rumah Manado, sempat-sempatnya terbaca halaman itu:
Ting !
Akhirnya ting yang ditunggu tiba juga. ( mataku buram)
Ting..tong…!
Pintu terbuka. Satu suara menyergap kerinduannya. (…) Menyapa Cintanya.
“Mama…”

Aku merinding, menyungging senyum, menemukan rumahku.
Dimanakah Rumah-ku?
Ahh..rumah yang ku tuju adalah mereka. Ya, dua orang di potret itu. Rumah bukanlah gedung, tempat, fasilitas tapi ‘Ada’ nya orang yang kusayang dan menyayang ku.

Aku adalah sebatang padi.
Aku adalah padi adalah Lingkan.
Aku bukanlah padi biasa dan aku akan pulang ke rumah ku
Sekarang disinilah aku. Padi yang tidak mau merunduk entah pada apa
Tapi sesaat lagi aku tunduk pada maut.

Buku itu merah menyala.
Merah seperti Api itu.
Merah seperti darah penumpang di kursi samping kananku
Merah…
Dan mata ku menjadi makin merah, pekat, gelap. Hitam.
----------
Sender: Lingkan
Aku benar2 pulang mama. L telah menemukan 2 rumah abadi, Mama dan Ranei.
ILU Mom.

Sender: Honey
‘L’ benar2 pulang sayang. L telah menemukan 2 rumah abadi, Kau dan Mamaku.
ILU Honey.
----------
Mama dan Ranei membuka sms masuk. Tak ada senyum di wajah itu.
Waranei mendial hp Lingkan. Mama mendial hp Lingkan. Sia-sia.
Tahukah Lagu yang Kau suka
Tahukah bintang yang kau sapa
Tahukah ‘RuMah’ yang kau tuju…
Itu aku…
Percayalah itu aku..
Sayup-sayup Waranei yang di Bogor dan Mama yang di Manado mendengar reff lagu yang sama. Lagu ‘Itu Aku’ nya Sheila on Seven. Lagu yang digemari Lingkan dalam dua bulan terakhir ini. Kali ini Lingkan hanya akan menuju Rumah Bapa nya.


Bandar Udara Sam Ratulangi
September 2004

------------------------------------------------------------------------------------

dimuat di:
- Ranomawuri Sulutlink.
- Newspaper Asean News-New York USA

Tidak ada komentar: